MEDIA JAWA TIMUR - Apa itu halal bihalal, sebuah tradisi lebaran yang hanya ada di Indonesia? Berikut pengertian, asal-usul istilah, dan peranan Presiden Soekarno terhadap tradisi tersebut.
Tradisi halal bihalal sudah ada sejak awal Indonesia merdeka.
Hingga saat ini, istilah halal bihalal masih digunakan masyarakat Indonesia untuk menyebut aktivitas silaturahmi yang mereka lakukan selama lebaran Idul Fitri.
Baca Juga: Relaksasi WFH dan Perpanjangan Libur Sekolah Sebagai Upaya Kurangi Kepadatan Arus Balik Lebaran 2022
Lantas, bagaimana asal-usul halal bihalal yang kini menjadi tradisi bagi umat muslim di Indonesia?
Tradisi halal bihalal ternyata hanya ada di Indonesia. Negara-negara Timur Tengah yang identik dengan nuansa Islami ternyata tidak mengenal istilah Halal bihalal.
Halal bihalal merupakan tradisi khas Indonesia ketika lebaran. Saudara di luar kota mudik dan berkumpul dengan keluarga besar di kampung.
Baca Juga: Imagi Space Jakarta Diperpanjang Buka Mulai 11 Mei 2022, Berikut Harga Tiket dan Regulasi Pengunjung
Dilansir Mediajawatimur.com dari situs resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sejarah halal bihalal dimulai setelah Indonesia merdeka tahun 1945.
Pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Kekacauan meluas sampai ke masyarakat daerah.
Para elit politik saling bertengkar dan enggan duduk diskusi dalam satu forum. Sementara konflik sosial dan pemberontakan terjadi di mana-mana, beberapa di antaranya adalah DI/TII, PKI Madiun, dan lain-lain.
Di pertengahan bulan Ramadan, Ir. Soekarno mengundang KH. Wahab Chasbullah ke Istana untuk dimintai pendapat dan saran untuk mengatasi situasi politik di Indonesia.
Kelak, penggagas istilah halal bihalal di Indonesia adalah KH. Wahab Chasbullah yang juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama.
KH. Wahab Chasbullah memberi saran untuk menyelenggarakan silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Perang Ketupat Saat Lebaran di Bangka Pada Saat Nishfu Syaban
“Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Soekarno.
“Itu gampang,” Jawab KH. Wahab Chasbullah.
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan,” sambungnya.
“Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal,” tutup KH. Wahab Chasbullah.
Baca Juga: Tradisi Lebaran Unik di Indonesia, Ada Baraan, Tari Topeng Muaro Jambi, dan Nyembah Belari
Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Kemudian, instansi dan perusahaan pemerintah menyelenggarakan Halal bihalal yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.
Dari situlah Bung Karno setiap lebaran selalu mengundang semua tokoh politik untuk datang ke istana. Menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bihalal’.
Istilah halal bihalal dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama thalabu halal bi thariqin halal yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Baca Juga: Jenis-Jenis Masakan Saat Tradisi Lebaran Meugang Masyarakat Aceh
Analisis kedua halal yujza’u bi halal, yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Saat ini, halal bihalal sudah menjadi tradisi dan budaya kearifan lokal dari para pendahulu yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat untuk merekatkan (kembali) tali persaudaraan.
Jadi, Soekarno bergerak lewat instansi pemerintahan, sementara KH. Wahab Chasbullah menggerakkan warga masyarakat, khusunya pesantren. Jadilah halal bihalal sebagai kegiatan rutin dan tradisi di Indonesia saat Idul Fitri hingga saat ini.***