Sejarah Halal Bihalal yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Peran Presiden Soekarno dan KH. Wahab Chasbullah

20 April 2022, 10:00 WIB
Foto ilustrasi: Suasana halal bihalal di Kantor Pikiran Rakyat, Jalan Asia Afrika, No. 77, Bandung. /Novianti Nurulliah/

 

MEDIA JAWA TIMUR - Halal bihalal merupakan tradisi khas Indonesia ketika lebaran. Saudara di luar kota mudik dan berkumpul dengan keluarga besar di kampung.

Saat ini, masyarakat Indonesia akan menjalankan tradisi halal bihalal di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah membolehkan mudik dengan syarat tetap taat protokol kesehatan.

Tradisi halal bihalal ternyata hanya ada di Indonesia. Negara-negara Timur Tengah yang identik dengan nuansa Islami ternyata tidak mengenal istilah Halal bihalal.

Baca Juga: Makna dan Hikmah Malam Nuzulul Quran di Bulan Ramadan

Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, penggagas istilah halal bihalal di Indonesia adalah KH. Wahab Chasbullah yang juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama.

Sejarah halal bihalal dimulai setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Kekacauan meluas sampai ke masyarakat daerah.

Para elit politik saling bertengkar dan enggan duduk diskusi dalam satu forum. Sementara konflik sosial dan pemberontakan terjadi di mana-mana, beberapa di antaranya adalah DI/TII, PKI Madiun, dan lain-lain.

Baca Juga: Negara dengan Durasi Puasa Ramadan Terlama dan Tercepat di Dunia Tahun 2022

Di pertengahan bulan Ramadan, Ir. Soekarno mengundang KH. Wahab Chasbullah ke Istana untuk dimintai pendapat dan saran untuk mengatasi situasi politik di Indonesia.

Kemudian KH. Wahab Chasbullah memberi saran untuk menyelenggarakan silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri.

“Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Soekarno

Baca Juga: Jangan Lewatkan Salat Tarawih di Pertengahan Bulan Ramadan, Ini Keutamaannya!

“Itu gampang,” Jawab KH. Wahab Chasbullah.

“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan,” sambungnya.

“Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal,” tutup KH. Wahab Chasbullah.

Baca Juga: Berikut Keutamaan Zakat Fitrah di Bulan Ramadan Selain Menyucikan Harta

Dari situlah Bung Karno setiap lebaran selalu mengundang semua tokoh politik untuk datang ke istana. Menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bihalal’.

Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Kemudian instansi dan perusahaan pemerintah menyelenggarakan Halal bihalal yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.

Baca Juga: Membayar Hutang Puasa Ramadan Bagi Mereka yang Tidak Dapat Menjalankannya Kembali

Soekarno bergerak lewat instansi pemerintahan, sementara KH. Wahab Chasbullah menggerakkan warga masyarakat, khusunya pesantren. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan tradisi di Indonesia saat Idul Fitri hingga saat ini.

Istilah halal bihalal dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama thalabu halal bi thariqin halal yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Baca Juga: Cara Pembagian dan Niat Zakat Fitrah di Bulan Ramadan

Analisis kedua halal yujza’u bi halal, yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Saat ini, Halal bihalal sudah menjadi tradisi dan budaya kearifan lokal dari para pendahulu yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat untuk merekatkan (kembali) tali persaudaraan.

***

Editor: Indramawan

Sumber: menpan.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler