Sembilan Pegawai KPK Ajukan Uji Materiil TWK ke Mahkamah Konstitusi

- 3 Juni 2021, 05:39 WIB
Ilustrasi Gedung KPK.
Ilustrasi Gedung KPK. /Dok. KPK

MEDIA JAWA TIMUR - Sebanyak sembilan orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan permohonan uji materiil terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN ke Mahkamah Konstitusi. 

"Kami menguji pasal 69 B ayat 1 dan pasal 69 C terhadap pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945. Kami berpikir bahwa penggunaan TWK untuk pengalihstatusan pegawai KPK itu bertentangan dengan pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945," jelas Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK, Hotman Tambunan di gedung KPK Jakarta pada Rabu, 02 Juni 2021 kemarin. 

Kesembilan orang yang mengajukan antara lain Hotman Tambunan, Rasamala Aritonang, Andre Dedy Nainggolan, Novariza, Faisal, Benydictus Siumlala Martin, Harun Al Rasyid, Lakso Anindito dan Tri Artining Putri.

Baca Juga: Soal 75 Pegawai KPK yang Tidak Lulus TWK, Firli Bahuri: Pimpinan Sudah Memperjuangkan

Diketahui, pasal 69 B ayat (1) dan pasal 69 C mengatur terkait penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai ASN sesuai peraturan perundang-undangan.

"MK adalah sebagai penjaga dan penafsir akhir konstitusi, sudah ada putusan MK bagaimana harusnya pengalihtugasan pegawai KPK menjadi ASN, tapi kita menyadari dan mengetahui bahwa pimpinan KPK dan BKN punya tafsir sendiri," sambung Hotman. 

Ia berharap supaya hakim konstitusi dapat memberikan jawaban terhadap polemik TWK yang dijadikan alat ukur untuk mengangkat pegawai KPK menjadi ASN.

Baca Juga: Firli Bahuri: Status ASN Tidak Mengurangi Semangat KPK Melakukan Pemberantasan Korupsi

"Isunya ini adalah mengukur bagaimana mengukur kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Kami melihat bahwa BKN seperti memonopoli pengertian itu dengan menggunakan alat ukur TWK, apakah memang alat ukur itu valid? Kita buka saja di sidang-sidang MK," lanjutnya. 

Hotman lantas membandingkannya dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. 

Didalamnya mensyaratkan untuk menjadi gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat II, presiden dan wakil presiden hanya dengan membuat surat pernyataan kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai alat kesetiaan.

Baca Juga: Novel Baswedan Sebut Ada Oknum Pimpinan KPK yang 'Ngotot' Ingin Singkirkan Pegawai

"Nah menurut BKN alat ukurnya (TWK) sudah sangat valid, sudah saatnya para pejabat strategis tadi menggunakan alat ukur itu. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan itu pandai berpidato tapi melanggar kode etik atau orang-orang yang berjuang untuk memberantas korupsi? Orang yang memenuhi aturan? Orang-orang yang bayar pajak? Itu tadi coba kita lihat di sidang-sidang MK," tegas Hotman. 

Dalam kesempatan tersebut, Hotman juga menyinggung bahwa sebelumnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Mei 2021 dalam perkara No. 70/PUUXVII/2019 menyatakan bahwa pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK dengan alasan apapun. 

"Sekalian juga menguji apa sih yang dimaksud dengan tidak merugikan pegawai KPK dalam pengalihan status ini sesuai Putusan MK No. 70 sehingga kesimpansiuran yang ada di publik kita bawa ke sidang-sidang MK, sehingga terbuka semua proses mengukurnya, bagaimana cara mengukurnya dan apa hasil ukurannya," jelas Hotman.

Ia menyebut pihaknya akan memberikan sekitar 28 bukti dalam pengajuan uji materiil ini.

***

Editor: Syifa'ul Qulub

Sumber: ANTARA


Tags

Terkait

Terkini